Sunday, September 18, 2016

Saturday, September 17, 2016

Kelebihan dan Kekurangan Arch Linux

  5 comments
Setelah menggunakan Arch Linux lebih dari 7 tahun -wuih sudah lama juga-, sedikit banyak berubah.
Wah ambigu sekali kalimat tadi, sedikit tapi banyak? kok bisa.
Prosedur instalasi Arch Linux tidaklah banyak berubah, kurang lebih konsep dasarnya masih sama. Disisi yang lain init system yang digunakan berubah drastis, memakai systemd yang kontroversial. KDEMod sudah menjelma menjadi Distro turunan Arch Linux, Chakra Linux. Dengan kata lain paket KDE yang ada di repository berupa paket vanilla, mengikuti proyek upstream. KDE desktop pun sekarang pada revisi mayor ke 5, saat tulisan ini dibuat KDE Plasma 5.8 LTS Beta baru saja dirilis.

KDE Plasma 5.8 LTS Beta.


Sebagai refleksi dari Setahun Menggunakan Arch Linux

Kelebihan :

* Stabil.
Ya, cukup stabil, stack dasarnya juga stabil. Namun tetap perlu adanya strategi bencana -cieh...- dari sisi pengguna. Sebagai contoh disarankan menginstall setidaknya dua versi kernel Linux, rilis terbaru -linux- dan rilis LTS -linux-lts-. Kenapa? karena rilis terbaru kadang terdapat bug, dengan memiliki cadangan kalau diperlukan seketika sudah ada tinggal dipakai saja.
Selera pribadi, aku memakai linux-ck dan linux-lts-ck dari AUR. linux-ck sebagai pilihan utama, dan linux-lts-ck sebagai cadangan. Juga terinstall linux dan linux-zen, karena linux adalah paket default dan menjadi dependensi paket lain, sedangkan linux-zen buat coba-coba saja.
* Rolling Release.
Tidak perlu menunggu rilis terbaru setiap enam / delapan / x bulan. Termutakhir baik dari repository resmi ataupun AUR. Ingin google-chrome-dev? ada, google-chrome-beta? juga ada, google-chrome-stable? pasti ada, chromium-ini-itu? ada juga. Paket experimental seperti aplikasi yang mendukung Wayland? KDE Plasma Beta? semuanya ada baik binary maupun source.
* Vanilla dengan patch seperlunya.
Kenapa paket vanilla itu penting? vanilla itu apa sih? vanilla adalah paket yang tersedia di repository dibangun berdasarkan referensi dari proyek upstream dengan tidak menambahkan patch spesifik untuk Distro tertentu yang hanya menguntungkan Distro tertentu pula. Distro yang "baik" hanya berkolaborasi dan berkontribusi langsung pada proyek upstream, sehingga bermanfaat bagi semua downstream, downstream disini adalah Distro-distro yang lain.
* Distro yang berbasis komunitas.
Arch Linux -dan Distro-distro yang lain- menjadi bukti bahwa proyek berbasis komunitas dapat tumbuh dan berkembang serta bersaing dengan proyek berbasis komersial. Bukan berarti komersial hal yang buruk, namun hanya dua sisi koin yang berbeda.
* Dukungan komunitas melalui wiki, forum, irc dll.
Menemui jalan buntu? Arch Wiki solusinya. Ingin bertanya suatu hal? forum, irc, reddit, g+, dll
* Membuat paket Arch Linux cukup mudah dipahami daripada DEB atau RPM.
Untuk yang satu ini aku tidak berubah pendapat.


Kekurangan :

* Belum memakai Delta Package, sehingga ukuran paket yang didownload relatif besar.
Sejatinya dukungan paket delta sudah ada pada pacman, tinggal diterapkan pada cermin-cermin repository resmi. Berita baiknya, sudah ada satu repository yang mendukung delta.
* Belum memakai Signed Package, walaupun memakai hash check namun paket yang telah di sign lebih terjamin keabsahannya.
Dukungan verifikasi keabsahan paket ini ditambahkan pada Juni 2012
* Koleksi aplikasi belum sebanyak Ubuntu, apalagi Debian. Walaupun ada AUR namun lebih afdol jika paket tersebut masuk ke Community repository.
Kini jumlah paket-paket pada repository Extra dan Community benar-benar bertambah banyak, ditambah lagi AUR.
* Lebih cocok buat Desktop dari pada Server, bukan berarti ga bisa dipakai sebagai Server. Ada proyek komunitas yang memodifikasi Arch Linux supaya cocok dipakai sebagai Server.
* Ditujukan bagi pengguna mahir.
* Tidak ada lingkungan desktop default.
Ini sebenarnya bisa dibilang kelebihan atau kekurangan, dengan adanya fokus pada DE tertentu akan mempercepat perkembangan DE itu sendiri. Namun karena filosofi Arch Linux itu sendiri, penggunalah yang harus menentukan DE yang mana akan dipakai.
* Arsitektur yang didukung tidaklah sebanyak Debian.
Dukungan resmi pada arsitektur x86 32bit dan 64bit. Debian dipakai sebagai acuan karena setahuku Debian merupakan salah satu Distro yang mendukung banyak arsitektur.

Entah apa lagi kelebihan dan kekurangannya, yang jelas belum terbesit keinginan untuk pindah ke Distro yang lain.

Etcher Image Flasher untuk SDCard dan USB drive

  No comments
Etcher.


Ingin membakar image Distro ke flashdisk? Mudah sekali, tinggal dd beres.
Eit, tapi tunggu dulu... tidak sedikit pengguna yang salah target ketika ber-dd ria. Ya kalau target drive isinya tidak penting, kalau target drivenya harddisk 1TB bisa serangan jantung yang punya.
Kan banyak aplikasi berbasis grafis seperti UNetbootin, YUMI, SUSE Studio ImageWriter, dll.
Lalu apa bedanya? Apa yang ditawarkan Etcher?

Aman dan mudah digunakan dengan antarmuka yang indah, opensource dibuat dengan JS, HTML, node.js dan electron, crossplatform mendukung Linux/macOS/Windows, validasi hasil bakar.
Menurutku sih kemudahannya setara dengan SUSE Studio ImageWriter, bedanya? Etcher didistribusikan hanya berupa AppImage.
Sudah lama aku ingin mencoba AppImage, baru sekarang kesampaian, hehehe...

Bagaimana caranya?
1. download Etcher dari https://www.etcher.io sesuaikan arsitekturnya, 32bit (x86) atau 64bit (x64)
2. jadikan executable
dari terminal
$ chmod a+x Etcher-linux-x64.AppImage
atau dari file manager seperti Dolphin

Properties, ubah menjadi is executable.


3. jalankan dari terminal atau klik ganda dari file manager.
$ ./Etcher-linux-x64.AppImage

Untuk Etcher memang diperlukan akses setara root, sedangkan untuk aplikasi "biasa" seperti Mozilla Firefox, tidak perlu hak setara root. Jika diperlukan Etcher akan menanyakan password sudo.

Peringatan : Semua data yang terdapat pada flashdisk / sdcard / microsd akan HILANG. Backup data anda terlebih dahulu.


Justice League, eh maksudnya pilih img, iso atau zip.

Bakaaaaaaaa....r.

Hangus sudah, selesai.

Wednesday, September 7, 2016

Review : Xiaomi Bluetooth Gamepad di Linux

  No comments


Terbesit keinginan untuk membeli gamepad baru setelah gamepad KW PS dualshock murah meriahku rusak lagi, padahal baru dipakai beberapa kali.
Sudah kali ketiga punya gamepad semacam ini, semuanya cepat rusak, sigh...
Daripada ribet, mending beli yang agak mahalan dikit, dan dimulailah pencarian.

Target pertama, Steam Controller. Gamepad besutan VALVe ini memang tergolong unik dikelasnya, sayangnya tidak tersedia di Indonesia -facepalm-. Mau dikata di iming-imingi diskon tapi kalau tidak tersedia disini ya percuma saja. Pesan langsung dari luar negeri? silahkan saja kalau punya dompet tebal, biaya dan-lain-sebagai-nya itu yang bikin -facepalm-.

Target kedua, Xbox Controller. Gamepad defacto untuk platform PC, dukungan dari komunitas Linux sangat baik sehingga langsung dapat dipakai di Linux. Sayangnya karena popularitas inilah yang menjadikannya sebagai target KW, mulai dari KW kelas paus sampai kelas teri. Mirisnya dari sekian toko online yang aku lihat, jarang sekali yang jujur menuliskan bahwa produknya KW, bukan original. Jangan tergiur dari tampilan gamepad dan box nya yang sangat mirip dengan produk original. Masih mending membeli produk yang kompatibel, bukan Xbox Controller tapi kompatibel seperti Xbox Controller. Dari hasil blusukan di pojokan forum-forum, ada yang mengklaim bahwa lebih dari 90 sekian persen produk ini yang beredar di Indonesia tidak original -citation needed-.

Target ketiga, Playstation 4 Controller (Dualshock 4). Ceritanya hampir sama seperti Xbox Controller. -update- sekitar tahun 2017 an Perusahaan Sony membuka perwakilannya di Indonesia dan Dualshock 4 original mulai bermunculan, ciri paling mudahnya ada stiker hologram Sony pada box nya.

Target keempat, Logitech Gamepad. Ada tiga dua model, Logitech F310 Gamepad dan Logitech F710 Wireless Gamepad.

Target kelima, entahlah. Sampai disini aku bingung harus memilih yang mana. Kehendak dan dompet berkata lain, maunya beli yang Logitech saja soalnya dukungan komunitas Linux sudah bagus juga. Tapi entah mengapa tiba-tiba nyasar pada laman Xiaomi Bluetooth Gamepad, terbesit pertanyaan kenapa tidak mencoba Gamepad Android saja?. Siapa tau bisa dipakai di Linux dan Android, kucoba mencari tahu dukungan gamepad ini di Linux hasilnya nihil. Meskipun begitu, akhirnya nekat beli juga.



Dua hari barangnya sampai juga, dus coklat berisi gamepad beserta baterai dan manual berbahasa cina -yang tidak kumengerti artinya-.
Tidak ada masalah dengan pairing, KDE Bluedevil menyanding 小米蓝牙手柄 dengan mudah.

KDE Bluedevil.


Sebelumnya cukup menambahkan konfigurasi supaya joystick tidak mengontrol cursor.
Buka Steam, masuk ke Big Picture Mode untuk mengkonfigurasi pemetaan tombol-tombol gamepad, Mi button / Guide button tidak dapat dipetakan loncati saja dan simpan.

Steam Big Picture Mode, konfigurasi gamepad.


Sekarang tinggal mencari game yang mendukung gamepad dikatalog Steam ku. Yang telah terinstall saat ini :

Dust: An Elysian Tail
FEZ
LIMBO
Mercenary Kings
Outland
Retro City Rampage DX
Stardew Valley
Super Meat Boy
Tales from Space: Mutant Blobs Attack

Dust: An Elysian Tail.

FEZ.

LIMBO.

Mercenary Kings.

Outland.

Retro City Rampage DX.

Stardew Valley, musim dingin ternyata dingin juga yah -ya iya lah masa panas-.

Super Mario Bros.

Tales from Space: Mutant Blobs Attack.

FPS yang menggunakan Source engine seperti, Half-Life 2 dan Team Fortress 2. Sudah lupakan saja, kalau mau bermain FPS sebaiknya menggunakan keyboard dan mouse.

Separuh-Nyawa 2, berarti sekarang tinggal seperempat.

Team Fortress 2, the best hat simulator.

Tidak lupa mencoba Euro Truck Simulator 2 dengan bantuan Antimicro.

Mana ujan gak ada ojek becek lagi, eh tapi lagi naik truk.


Menurutku sih dari segi bentuk gamepad ini cukup nyaman digenggam dan ringan. Presisi joystick dan dead zonenya oke. Tombol-tombolnya cukup empuk. Koneksi bluetoothnya pun tidak nge-lag. Untuk baterainya sudah lebih dari 80 jam kupakai bermain Stardew Valley saja, belum game yang lainnya. Fitur auto power off jika gamepad tidak dipakai setelah sekian menit.

Kekurangannya, tombol D-pad yang kurang menonjol jadi kesannya agak susah ditekan.
Gamepad ini ditenagai dua baterai AA, tanpa kabel dan port untuk mengisi ulang jadinya perlu beli baterai yang bisa di isi ulang.

Yang belum dicoba adalah fitur rumble / force feedback (getar) dan accelerometer. Untuk rumble sendiri, aku belum begitu paham sebenarnya dimana yang bertanggung jawab atas fitur tersebut, kemungkinan besar pada stack Xpad driver. Kucoba telusuri Google Play Store guna mencari game dengan dukungan getar, namun tidak yakin game apa yang patut dicoba, mungkin nanti saja.
Mi Button / Guide Button juga tidak bisa dipetakan, walaupun ketika dicoba dengan evtest dapat berfungsi.
Sejatinya target pemasaran gamepad ini adalah pengguna Android, sehingga accelerometer pun disertakan.

Berhubung cuma satu merk gamepad yang direview, tidak ada yang dijadikan acuan perbandingan. Namun jika membaca perbandingan gamepad bluetooth untuk Android pada situs lain, tentunya Xiaomi Bluetooth Gamepad ini bukanlah yang terbaik. Ada beberapa merk yang direkomendasikan dengan harga yang relatif lebih mahal. Sayangnya aku orangnya simple, yang penting bisa dipakai dan awet, semoga saja...